Nov 21, 2010

Tanggung Jawab Sosial Pelaku Pasar

Harga sembako pada saat lebaran sudah “pasti” naik. Hingga kini nyaris semua orang (berusaha) maklum dengan kenaikan harga-harga itu. Alasannya juga klasik: itu sudah dianggap sebagai hukum  pasar. Permintaan meningkat, pastilah harga naik. Semua pihak sepertinya memaklumi kelakuan para penjual yang suka untuk berpesta meningkatkan harga manakala kesempatan itu sedang datang. Tokh, dalam benak panyak orang, ketika permintaan sedang sepi, para pedagang itu juga mengalami kerugian akibat terpaksa obral murah barang dagangannya.

Ada juga kenyataan yang sering berulang. Barang ditimbun untuk beberapa lama, untuk kemudian dikeluarkan pada saat nyaris semua orang membutuhkannya. Ini juga yang menjelaskan mengapa beberapa minggu sebelum puasa menjelang harga sembako sudah meroket. Pasokan yang (sengaja dibuat seolah) sedikit telah dipergunakan sebagai dalih untuk menaikkan harga. Di sini relasi kuasa terjadi. Seberapa pun harga yang ditetapkan, mengingat elastisitas permintaan hamper semua produk sembako yang rendah, orang pasti membelinya. Kita tidak bisa tidak membeli beras, bukan?

Dari dua fenomena yang saling berhubungan di atas, ada pertanyaan menggelitik: seberapa jauh sesungguhnya tanggung jawab sosial terjadi di pasar? Kalau para pedagang di pasar itu secara beramai-ramai memanfaatkan ’pemakluman’ semua orang, apakah memang tanggung jawab social itu bisa dilepaskan dari mereka?

Dalam tradisi fikih muamalat klasik, hanya diberikan patokan etis: “Berdosalah mereka yang menimbun barang.” Demikian sebuah hadis Nabi Muhammad yang sering dikutip. Atau ada kaidah akhlak berdagang: “Jangan menaikkan harga jual lebih dari dua kali lipat harga modal, sebab keuntungan demikian pastilah tidak berkah.”

Pada kenyataannya, tuntutan etis di atas benar-benar dianggap sepi. Memang, alasan etika dalam transaksi jual beli sering kali tidak relevan. Ia hanyalah harapan, bukan kenyataan. Di tengah perspektif tanggung jawab sosial sedemikian marak diwacanakan, penting rupanya untuk memikirkan dan mengimplementasikan etika dalam perdagangan. Dalam hal ini biasanya pemerintah hanya memberikan dua kaidah normal: operasi pasar dan pernyataan jaminan ketersediaan barang. Namun praktiknya bagaikan sekadar meminjamkan payung di tengah hujan lebat. Ia tak kan pernah sanggup menghentikan lebat dan derasnya hujan. Dan orang pun akhirnya pasrah: demikianlah pasar!

Diperlukan langkah yang lebih besar untuk menjadikan kondisi yang lebih baik. Para pedagang sudah seharusnya kembali mempelajari etika bisnis paling dasar, mempertanyakan secara jujur dan terbuka berapakah proporsi keuntungan yang bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Hingga kini, perdebatan mengenai masalah ini memang belum muncul dalam wacana CSR, namun tampaknya semakin mendesak untuk dibangkitkan. Kontrol diri juga penting untuk terus ditingkatkan, hingga kita bisa memberikan sinyal yang tepat kepada pasar mengenai level kebutuhan. Kita harus berhenti memberikan sinyal bahwa manusia itu serakah, dan ini sesungguhnya yang menjadi salah satu inti penting dari isu konsumsi berkelanjutan dalam CSR.

Pemerintah bisa saja terus mengupayakan operasi pasar menjelang Lebaran. Tapi, tanpa etika pengambilan keuntungan yang wajar dari para pedagang dan kehendak untuk mengerem konsumsi dari para pembeli, rasanya kita hanya akan mengulangi cerita lama.


Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Penawaran_dan_permintaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan  
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20100831131733-a.pdf

No comments:

Post a Comment