Oct 31, 2010

KKN dan Skandal Enron

Dalam tiga bulan, Amerika Serikat (AS) mengalami dua guncangan dahsyat. Pertama, serangan maut atas menara kembar World Trade Center, New York, 11 September 2001. Kedua, skandal Enron, perusahaan ke-7 terbesar di AS yang bangkrut awal Desember lalu, setelah melakukan berbagai rekayasa keuangan dan berkolusi dengan tampuk kekuasaan. Guncangan pertama meremukkan citra supremasi AS di mata internasional, sedangkan guncangan kedua memperlihatkan betapa sistem kapitalisme yang begitu diunggulkan ternyata berdiri di atas sendi-sendi yang sudah rongsokan. 

Skandal Enron juga membukakan mata dunia terhadap kelemahan mekanisme pengawasan bursa saham, di samping kegagalan untuk menegakkan etika profesi akuntan dan ketidakmampuan para wakil rakyat untuk menyingkap berbagai pelanggaran yang dilakukan Enron. Ada yang membatasi skandal Enron sebagai kasus penyimpangan prinsip-prinsip akuntansi yang dilakukan perusahaan Arthur Andersen. Padahal, kejahatan bisa terjadi bukan cuma karena Enron membayar mahal Arthur Andersen, tapi juga lantaran kerja sama Enron dengan Komisi Sekuritas dan Penukaran Uang (SEC) dan dana politik yang dikucurkannya ke Gedung Putih maupun Kongres. Dan Enron adalah penyumbang ke-12 terbesar dana kampanye Presiden George Bush. Bagaimana Enron yang piawai ber-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) akhirnya jatuh bangkrut? 

Perusahaan yang bergerak di bidang energi ini melakukan dua akuisisi yang menyebabkannya rugi besar. Enron juga menghamburkan jutaan dolar untuk main saham, tapi cara pembelian saham dan pembukuannya sangat tidak lazim. Para akuntan terpaksa merekayasa laporan keuangan Enron agar kerugiannya tidak terungkap. Pemborosan lain terjadi dalam bentuk dana politik yang jumlahnya hampir mencapai US$ 6 juta. Dengan uang pelicin ini, terbukalah peluang bagi Enron untuk memperoleh privilege dan kemudahan serta ikut merumuskan kebijakan-minimal di bidang energi. Tapi, pada saat Enron hampir ambruk, Menteri Keuangan Paul O'Neill maupun Menteri Perdagangan Donald Evans menolak mengulurkan bantuan. Penolakan inilah yang untuk sementara meloloskan pemerintahan Bush dari lubang jarum skandal Enron. Borok-borok Enron tentu belum semua terungkap, sehingga selain investigasi oleh empat komisi di Kongres, juga ada penyidikan oleh Departemen Kehakiman, Departemen Tenaga Kerja, dan SEC. Departemen Tenaga Kerja perlu dilibatkan karena dana pensiun karyawan Enron dipakai untuk membeli saham perusahaan tempat mereka bekerja. Setelah Enron bangkrut, mereka bukan saja kehilangan pekerjaan tapi juga kecolongan dana pensiun. 

Kini sebuah rencana undang-undang disiapkan dengan tujuan membatasi pembelian saham perusahaan hanya 20 persen dari nilai total dana pensiun karyawan. Peraturan mengenai dana kampanye juga akan diubah. Skandal Enron sepintas menunjukkan bahwa praktek KKN bukanlah monopoli negara-negara berkembang. Sosok KKN yang mengerikan ternyata leluasa bergerak di AS, mirip seperti di sini. Good corporate governance ternyata cuma omong kosong, etika profesi akuntan disepelekan, sementara petinggi SEC lebih mementingkan komisi besar ketimbang menegakkan peraturan dan transparansi bursa. 

Semua praktek KKN itu dalam cara yang agak berbeda juga terjadi di Indonesia. Tragisnya, di sini terlalu sedikit yang dibawa ke pengadilan, mungkin karena yang menindak kejahatan juga terlibat dalam kejahatan itu sendiri. Di AS, pejabat yang terbukti menyeleweng, politisi yang menerima suap, dan hakim yang tidak menegakkan kebenaran, cepat atau lambat akan diadili. Komitmen untuk menegakkan hukum, harus diakui, masih sangat kuat di AS, namun komitmen itu pula yang sulit ditemukan di Indonesia. Moral dari skandal ini adalah: kejahatan terjadi di banyak negara, bedanya terletak pada komitmen masing-masing untuk memberantasnya.

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Enron
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/01/28/OPI/mbm.20020128.OPI76817.id.html

No comments:

Post a Comment